Wednesday, November 9, 2011

DISABILITAS DAN PANDANGAN MASYARAKAT

Dalam membahas artikel disabilitas dan pandangan masyarakat, kita perlu mengerti terlebih dahulu apa itu disabilitas. Disabilitas didefinisikan sebagai ketidakmampuan untuk terlibat dalam aktivitas penting yang berguna oleh karena keterbatasan fisik/mental yang dapat ditentukan secara medis dan dapat berakibat kematian atau telah berlangsung atau diperkirakan akan berlangsung secara terus menerus dalam kurun waktu tidak kurang dari 12 bulan. World Health Organization (WHO) memberikan definisi disabilitas sebagai keadaan terbatasnya kemampuan (disebabkan karena adanya hendaya) untuk melakukan aktivitas dalam batas-batas yang dianggap normal oleh manusia. Disini penulis menganggap perlu adanya perubahan cara pandang pada masyarakat dan pemerintahan dalam menyikapi keberadaan penyandang disabilitas di tengah-tengah masyarakat. Keberadaan dan kesejahteraan para penyandang disabilitas yang hingga kini masih jauh dari harapan.
Pandangan yang tidak memprioritaskan penyandang disabilitas dalam upaya pemberdayaan karena mengurus mereka yang tidak menyandang disabilitas saja belum beres, harus mulai di kikis. Sikap tidak memprioritaskan penyandang disabilitas dalam upaya pemberdayaan baik di bidang pendidikan maupun pekerjaan serta aspek kehidupan lainnya telah mempengaruhi alokasi anggaran negara yang diputuskan secara bersama antara eksekutif dan legislatif baik di tingkat pusat maupun daerah. Begitu pula dengan masyarakat, termasuk sektor usaha, masih sangat sedikit dana disalurkan untuk pemberdayaan penyandang disabilitas, termasuk dana yang dihimpun melalui CSR dan jalur-jalur keagamaan seperti zakat dan yang semacamnya.
Minimnya alokasi anggaran untuk penyandang disabilitas juga dikarenakan lemahnya atau tidak akuratnya data jumlah penyandang disabilitas di Indonesia, masing-masing kementerian memiliki estimasi masing-masing. Sebagai patokan, antara lain, Kementerian Kesehatan memperkirakan jumlah penyandang disabilitas adalah enam juta, sedangkan menurut Kementerian Sosial, jumlah berkisar dua juta. Kesulitan mendapatkan angka yang tepat untuk disabilitas terkadang dikarenakan keluarga yang tidak mau mengakui adanya disabilitas dalam keluarganya sehingga hal itu ditutupi oleh karena malu, dan tidak adanya dalam ID Card suatu status yang menyebutkan jenis disabilitas yang dimiliki sehingga dengan adanya hal itu maka data yang di dapat dapat sangat terperinci.
Dampak dari situasi ini semua adalah, selama ini penyandang disabilitas belum dapat menjadi bagian dari arus utama di bidang apapun. Kebanyakan dari mereka hanya bisa ada di pinggir dari lingkaran dan arus perkembangan masyarakat.
Persepsi keliru masyarakat tentang penyandang disabilitas, yang antara lain disebabkan dan dibentuk oleh budaya serta mitos-mitos, hinga kini juga masih sangat dirasakan. Banyak keluargaan yang malu memiliki anak dengan disabilitas. Akibatnya, mereka disembunyikan saja di rumah. Sudah bisa dibayangkan, penyandang disabilitas yang tumbuh di lingkungan semacam ini akan menjadi beban keluarga karena mereka tidak berpendidikan, tidak mandiri, dan tentu tidak produktif.
Belum lagi kalau kita lihat di luar pulau jawa, banyak daerah yang masih melakukan diskriminasi terhadap disabilitas. Saya banyak memiliki teman di luar pulau Jawa, mereka sangat mengeluhkan masalah diskriminasi ini. Hal ini lebih menyulitkan bagi disabilitas. Bahkan keikutsertaan lembaga disabilitas seperti PPCI dan HWPCI di luar pulau belum terasa manfaatnya.
PPCI dan HWPCI sendiri sebagai lembaga disabilitas belum terasa hasilnya bagi disabilitas. Mungkin hanya sebagian kecil yang merasakan dalam artian hanya dalam lingkup pengurus saja yang sering diikutkan macam-macam kegiatan. Kegiatan mereka terkesan hanya berada di pusat saja, untuk daerah seperti Surabaya, kedua organisasi itu tidak ada dengungnya, apalagi yang diluar pulau jawa. Dipicu dari permasalahan diatas, banyak ormas yang membentuk organisasi disabilitas sendiri, malah muncul suatu kecenderungan ingin menunjukkan kepopuleran pendirinya sehingga terjadi pecah belah. Kadang malah terkesan disabilitas adalah makhluk egois karena ingin menonjolkan kelebihannya masing-masing.
Namun, jika pemerintah dan masyarakat melakukan investasi yang cukup melalui alokasi dana untuk pemberdayaan, maka penyandang disabilitas akan menjadi manusia yang cerdas, mandiri, dapat berfungsi di masyarakat dengan bekerja, produktif dan menjadi pembayar pajak. Disabilitas jangan dipandang sebagai manusia yang hanya meminta – minta atau makhluk yang perlu disingkirkan, Mereka hanya perlu diberi kesempatan yang sama dengan yang tidak mengalami disabilitas. Kita dapat berharap dengan adanya pengesahan ratifikasi konvensi hak – hak disabilitas sangat diharapkan terbukanya kesempatan yang lebih luas bagi disabilitas baik di dunia pendidikan, social dan pekerjaan.
Kalau kita menelusuri, sangat banyak disabilitas yang memiliki kemampuan diatas mereka yang tidak memiliki disabilitas. Hanya satu yang perlu kita ingat bersama – sama, disabilitas memang berbeda tetapi mereka memiliki cara sendiri untuk mencapai tujuan yang sama. Terkadang cara yang berbeda itu yang tidak dipahami oleh masyarakat sekitar dan menilai itu suatu hal yang sangat aneh. Dengan adanya kartunet diharapakan menjadi media yang dapat mensosialisasikan isu – isu disabilitas dan mengurangi pandangan negative masyarakat terhadap disabilitas.
Perjuangan media seperti kartunet mungkin harus di contoh dengan media lainnya, ini membuktikan bahwa disabilitas bisa eksis keberadaannya. Hal yang mungkin orang tidak berpikir dimana seorang tuna netra dapat menggunakan computer bahkan bisa mengutak atik yang namanya internet atau web. Diharapkan disabilitas yang lain tidak berputus asa dengan keberadaannya dan dapat terus berjuang.

1 comment: